728x90 AdSpace

­
Latest News
Sabtu, 08 Februari 2014

Sang Maestro /Diva /Super Star Gandrung..TEMU.

Pada tanggal 5 Desember 2012, Dewan Kesenian Jakarta, sebuah lembaga Kesenian yang bergengsi di Indonesia mengadakan pagelaran Maestro Tari Tradisional. Dan dari daerah ujung timur p.Jawa, Banyuwangi ditampilkan  sang Maestro Gandrung Temu.
GANDRUNG  icon Kabupaten Banyuwangi.
Banyuwangi adalah daerah  dimana darah seni mengalir deras yang dengan kuat menjaga kesenian tradisionalnya.Kecintaan masyarakat terhadap Peradaban Blambangan yang besar telah mampu menjadi tameng  Kesenian tradisional Banyuwangi dari gempuran kesenian modern yang menggempur Indonesia tanpa ampun.Kecintaan terhadap seni tradisi ini dibuktikan pada setiap kegiatan orang Banyuwangi , baik dalam perayaan sunatan, perkawinan,selalu ada kesenian tradisionil. Begitu juga dalam kegiatan halal bil halal orang Banyuwangi di Perantauan, kesenian Banyuwangi Gandrung , Angklung Blambangan, Rebana  menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Dan Gandrung menjadi salah satu kesenian yang paling populer,karena itulah Pem Da Banyuwangi telah menjadikan Gandrung sebagai Icon Kabupaten Banyuwangi.

 TEMU Sang Maestro.
Nama Temu yang sederhana ini selalu dirangkai dengan kesenian yang digelutinya  yaitu Gandrung  sehingga namanya menjadi Gandrung Temu. Tak terpisahkan. Tidak seorangpun yang meragukan kepiawaian dan dedikasi Temu sebagai seorang penari Gandrung. Maka pantaslah dia disebut Sang Maestro. Tulisan Maria Hartiningsih di  Kompas, 26 Oktober 2007, memberi gambaran tentang sosok Temu secara lengkap.
Sejarah hidup Temu sebagai penari Gandrung kental diwarnai tradisi. Waktu kecil, ceritanya, ia sakit-sakitan, tak mau makan. Orangtua membawanya kepada seorang dukun bernama Mbah Kar untuk di-suwuk ( diobati). Sepulang dari situ, Temu kecil tiba-tiba minta makan. Ibunya membawa dia ke rumah juragan Gandrung bernama Mbah Ti’ah. Di situ Temu makan sangat lahap. Lalu Mbah Ti’ah mengatakan, “Jadikan dia gandrung kalau sudah besar.”
Sejak itu, Temu kecil mulai suka menari. Darah seni sebenarnya mengalir dari garis ayahnya. Sang ayah adalah penari dalam kesenian tradisionil . Kakeknya ahli mocoan lontar. Meski awalnya tak mau jadi penari Gandrung, Temu mulai naik pentas pada usia 15 tahun. Tahun 1969 itu penari Gandrung  berada di puncak kejayaan.
“Mula-mula takut,” kenangnya. Tak lebih dari setahun, Temu menapak jenjang sri panggung. Honornya jauh di atas penari-penari seniornya. Lirik lagu ciptaannya mengena dan sering menohok persoalan yang dihadapi penonton. Temu mengaku tak pernah baca mantra sebelum pentas. “Kalau pakai itu, cuma bertahan sebentar,” katanya. Untuk menjaga kualitas suara, ia tak makan pedas dan gorengan, dan mempertahankan syarat utama: menahan kencing semalaman atau sekitar sembilan jam!
Bagi Temu, hidup adalah berkesenian. Gandrung membuatnya menggandrungi hidup, seberat apa pun jalannya. Kibasan sampur Gandrung seperti mengibaskan ketaktertanggungan pada masalah. Karena itu, meski menyandarkan hidup pada Gandrung, uang bukan segalanya. Seperti paradoks. Ia mempertaruhkan hidupnya di situ, sekaligus tak kenal kompetisi: Gandrung lebih penting ketimbang dirinya.
Suara Temu bagian Eksotisme “TIMUR”
Sikap itu tanpa disadari menjadikannya “mangsa” bisnis kesenian dan kebudayaan yang jaring-jaringnya melampaui batas desa, bahkan wilayah negara. Temu, yang tidak pernah menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat itu, tidak tahu bahwa ia tergulung ke dalam gelombang pasar bebas, di mana multikulturalisme dimaknai tak lebih sebagai komoditi, minus penghargaan pada hak kekayaan intelektual. Suatu pelanggaran yang banal.
Suara Temu menjadi bagian eksotisme “Timur” yang terus direproduksi dan secara bisnis memberikan keuntungan besar. Farida Indriastuti, kontributor lepas kantor berita Italia yang melakukan penelitian tentang multikulturalisme-diselenggarakan oleh Srinthil, majalah perempuan multikultural-menemukan, CD Temu Songs Before Dawn (Lagu Menjelang Fajar) dijual di AS antara 15 dollar-18 dollar AS, di Eropa sekitar 20 euro per keping.
Nilai jualnya di satu online lebih dari 12.000 keping. Padahal lebih dari 10 online menjual reproduksi suaranya. Pertengahan Juli 1992, Amazon.com AS mencatat penjualan “Songs Before Dawn” sebanyak 284.999 copy dalam 24 jam. Foto Temu menari ditaruh di sampul belakang CD, sementara sampul depannya berhias penari Gandrung lain dari Banyuwangi. Hak ciptanya dipegang suatu lembaga pendidikan terkemuka di AS.
Nama Temu tak disebut sama sekali di situ.
Temu hanya tahu pernah ada orang asing yang merekam gambar dan suaranya, katanya, untuk proyek kebudayaan Indonesia. Lama rekamannya 10 jam, dengan upah Rp 60.000 atau Rp 6.000 per jam, dan Rp 25.000 per orang atau Rp 2.500 per jam untuk enam panjak (nayaga). Katanya, rekaman itu bukan untuk keperluan komersial. Di tingkat lokal pun sama saja. Suara emasnya sudah menghasilkan enam album Gandrung dan satu album versi Jaipong untuk karaoke. Honornya dihitung per paket, antara Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta, tak tergantung berapa keping CD atau kaset yang terjual. Menurut penyelidikan Farida, VCD Temu pernah terjual 10.000 keping sehari.
Suatu hari, seorang pejabat memberi tahu, Temu mendapat penghargaan internasional. Ternyata penghargaan itu dari Dinas Pariwisata bekerja sama dengan Pendidikan Seni Nusantara (PNN). Gambar dari sertifikat “internasional” itu dibingkai kayu murahan berupa fotokopi sampul rekaman VCD dari proyek kesenian rakyat lembaga filantrofi internasional yang merekam suara dan tarian Temu bertahun-tahun lalu itu.
“Lha saya bisa apa?” itu jawabnya ketika ditanya bagaimana ia menyikapi semua itu. “Saya kembalikan saja pada Yang Punya Hidup.”  Sejak tahun 1980 Temu hidup sendiri. “Malas nggodok wedang. Capek,” katanya. Dua perkawinannya gagal, tanpa anak. Sekarang ia mengasuh cucu keponakan dan merawat kakak ibunya “Enak sih punya suami. Tapi daripada sakit gigi, he-he-he..”
Seandainya dilahirkan kembali, apakah ia mau meniti jalan yang sama, sebagai penari Gandrung? Jawab Temu, “Saya mau tidur pada waktunya orang tidur. Bukan teriak-teriak nyanyi dan pencilatan menari..”
Tarian Kehidupan Gandrung Temu
Tarian Gandrung Temu adalah tarian kehidupan. Setiap geraknya adalah riwayat. Panggungnya keseharian, di mana musim panen dan paceklik adalah dua musim yang satu dan garisnya abu-abu. Temu Mesti adalah penari Gandrung terkemuka di Banyuwangi, Jawa Timur. Meski usianya 53 tahun, posisinya dalam kesenian tradisional Banyuwangi itu belum tergeser oleh para penari muda. Tinggi badannya sekitar 170 cm, berperawakan sedang. Suaranya yang melengking jernih masih belum tertandingi.
Namun, seperti banyak seniman tradisional, hidupnya jauh dari kemoderenan.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Sang Maestro /Diva /Super Star Gandrung..TEMU. Rating: 5 Reviewed By: Unknown