728x90 AdSpace

­
Latest News
Sabtu, 11 Januari 2014

Menukik Paruh Sang Garuda


Semburat mentari meliuk naik mengejar ombak yang datang berlarian menuju bibir pantai. Langit teduh kebiruan memayungi sang surya naik ke angkasa. Ingat sekali rasanya baru kemarin siang kami berangkat menuju tempat ini. Dan betapa lucunya mengingat dua malam yang lalu aku masih mempersiapkan ini-itu dan segala tetek bengeknya. Kini, aku akan tinggal dan menapaki hari-hari terakhir bersama teman-teman seperjuanganku dulu untuk mengukir kenangan bersama selama tiga hari kedepan.
Kutengok lagi, kulihat lagi pemandangan menakjubkan ini. Pasir putih selembut sutra dan seputih susu hanyut terbawa arus ombak yang memecah kesunyian. Sayup-sayup terdengar gema suara lembut gamelan di pura di sebelah sana itu, menyiratkan kedamaian dalam bersembahyang. Di tengah gemulai pemandangan itu terekam tiba-tiba…
“Anak-anak, ayo naik ke bus. Tujuan selanjutnya masih banyak,” katanya. I Gusti Agung Arya, pemandu kami. Semuanya berlari masuk, berebut tempat duduk yang sesuai. “Anak-anak, sebentar lagi kita akan menuju ke tujuan selanjutnya. Namun sebelum itu, kita akan menuju ke penginapan terlebih dahulu untuk makan pagi dan berganti pakaian,” katanya lagi.
Dengan cepat bus segera melaju, menyusuri jalan-jalan yang bersih. Di depan semua rumah terdapat sesaji-sesaji. Sesaji yang merupakan bentuk penghormatan terhadap ‘penghuni lain’ yang ‘berbeda’ dengan kita, begitu kata pemandu.
Akhirnya bus yang kunaiki sampai di penginapan. Semua orang keluar, menuju kamar masing-masing untuk mempersiapkan diri menuju tempat selanjutnya.
Bangunan megah, terjebak dalam siluet taman dengan bunga yang sedang bermekaran. Berhiaskan patung para dewa sehingga menciptakan suasana sakral dan membuat orang segan untuk memasukinya. Istana? Bukan, itu adalah sebuah monumen. Sebuah bangunan yang meyimpan kenangan, sebagai saksi bisu perjuangan rakyat yang tak rela diperbudak oleh orang asing, berperang hingga puputan, sampai titik darah penghabisan.
Aku bersama sahabat terbaikku, Devika, menaiki tangga menuju ke dalam. “Bli, di dalam boleh berfoto?” tanyaku kepada dua orang pemandu.
“Boleh,” jawab mereka serempak. “Tapi, yang halangan tidak boleh masuk ke dalam,” kata salah seorang pemandu.
“Bagaimana Vic, berarti aku tidak bisa masuk? Ya sudah aku ke bus saja,” kata Devika.
“Ya sudah, kita berfoto di luar saja, tidak usah masuk,” Devika menyetujui. Akhirnya kami berfoto di luar karena Devika tidak diperbolehkan masuk.
Ya, perjalanan berlanjut menuju sebuah pantai. Debur ombak bergulung menaikkan papan-papan surfing para peselancar. Udara yang panas serta cuaca yang terik, menambah alasan mengapa semua orang ingin berjemur diri.
“Kamu nggak berenang?” tanya Adhit, teman sekelasku yang paling tidak bisa diam.
“Tidak, disini panas sekali,”
“Bukannya lebih segar jika berenang saat cuaca terik?”
“Tidak,” aku tidak mau berdebat lagi.
Kuputuskan untuk menyusuri jalan-jalan setapak untuk melihat-lihat. Aroma dupa dari setiap pura yang berada di setiap ujung jalan membuat daerah ini begitu istimewa. Pun patung-patung yang sangat menawan dan megah yang berada di setiap perempatan jalan-jalan besar, mengundang takjub dari siapapun yang menyaksikannya.
Kembali menuju penginapan. Mempersiapkan diri untuk menyaksikan lagi, keindahan-keindahan lain yang berada di sini satu persatu. Menciptakan memori untuk dikenang, di lain waktu.
Langit kebiruan menyusul sang mentari, perlahan datang naik menyinari bumi. Embun yang menguap, terusir oleh kehangatannya. Dinginnya udara di danau ini menjadi saksi, bagaimana kami semua menghabiskan masa-masa bersama yang terakhir dengan keseruan yang tercipta. Danau ini nampak masih alami, diselimuti kabut tebal dan suhu udara yang rendah. Kali ini aku bersama dengan Ilham dan Adhit, karena mereka adalah teman sebangku-ku di bus. Loh, Devika mana? Ia sedang tidak enak badan sehingga harus beristirahat di penginapan. Sayang sekali.
“Wih.. adem ya disini, kabutnya juga tebal,” kata Ilham.
“Kamu aja pakai jaket kedinginan, gimana kita coba?” kata Adhit dengan jengkel.
“Kan aku udah antisipasi. Jadi kalau ada cuaca yang ekstrem begini kan enak,”
“Yee.. iya deh, percaya. Aku bawa jaket sih Ham, tapi nggak takbawa,” kataku kepada Ilham.
“Ya udah, gimana kalo join?” kata Ilham sambil tertawa.
“Ih, ogah. Mending kabur ah..” Adhit pergi menuju teman-teman yang lain. Dan seperti biasa, ia selalu mengusili semua orang.
“Lha kamu Vic? Ahahaha,” Ilham kembali bertanya. Pertanyaan bodoh.
“Ogah juga,” jawabku sekenanya. “Eh, tolong foto-in dong,” pintaku kepada Ilham. Setelah beberapa kali jepretan foto, Ilham menyerahkan kamera kepadaku. “Terima kasih,” kataku lagi.
“Ih, narsis. Tapi sama-sama,”
“Biarin dong, kameranya siapa? Masalah?” kataku. “Ayo ke pinggir sana, gabung sama anak-anak,” ajakku kepada Ilham.
Aku dan Ilham segera menuju ke pinggir danau. Sialnya, hujan turun. Titik-titik hujan makin lama makin membesar. Kuputuskan untuk berteduh. Titik-titik air jatuh melewati genting, membasahi patung-patung raseksa yang berjajar, menciptakan harmoni dalam aksara nada-nada rintik. Sang bayu terus berhembus membawa tetes air yang berevaporasi menciptakan kelembapan di sekitarnya.
Seorang gadis kecil membawa payungnya, menawarkan padaku jasa ojek payungnya.
“Ojek payung, kak?” tanya-nya menawarkan. Daripada kebasahan, segera saja aku mengangguk dan memakai payungnya menuju bus yang diparkir di atas. Sedangkan Ilham dan Adhit terlebih dahulu menuju ke bus saat hujan mulai turun tadi. Saat aku sudah berada di bus, hujan reda. Namun aku malas untuk turun lagi. Akhirnya aku menunggu di bus hingga bus berangkat ke tujuan selanjutnya.
Dari dinginnya alam pegunungan, aku berpindah menuju potret dataran rendah dengan keindahan yang begitu menakjubkan, hasil karya pemanfaatan manusia terhadap alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Sebuah panorama pantai berarus deras dengan batu karang serta pura yang berdiri kokoh diatasnya. Tebing-tebing curam yang membalut setiap sudut menjadi tameng akan keindahan buatan mausia di atasnya.
“Vic, sekarang gantian, aku yang kamu foto-in ya,” kata Ilham kepadaku.
“Tadi bilang aku narsis, sekarang eh malah dia-nya minta foto juga,”
“Biarin lah, biar impas,” Ilham menyeringai. Dasar.
“Yaudah, gantian ya, hehe” kataku kepadanya. “Ayo kita naik, di atas pasti lebih bagus,” ajakku. Dan benar, sekitar delapan buah bangunan pura berada dalam satu komplek. Sungguh kajaiban yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk membangunnya. Kesibukan menyelimuti salah satu pura yang terbesar. Umbul-umbul yang terbuat dari janur melekuk diterpa kerasnya angin. Sesaji kembang, dupa dan yang lainnya menyebarkan aroma penuh misteri dengan segala kemagisannya.
“Wah wah wah, ada apa ini, rame banget? Lah itu…” Adhit tiba-tiba datang dari belakang mengagetkanku. Ia juga menunjuk kepada suatu benda yang tergeletak di pojok bale.
“Iya, mungkin ada yang meninggal,” jawabku dan Ilham secara bersamaan. Sebuah peti mati, berwarna keperakan dan terukir motif-motif khas menandakan upacara kematian akan diadakan. Sayang, waktunya bagiku untuk meninggalkan tempat ini, tempat yang menakjubkan dan menuju ke tempat selanjutnya.
“Anak-anak, silakan lihat ke arah kiri kalian. Itu adalah sebuah jalan tol pertama yang dibangun di atas air atau laut. Rencananya jalan tol ini akan diresmikan sebelum pelaksanaan APEC,” jelas pemandu kepada kami semua.
Pemandangan di tol itu sangat indah, namun bus kami belum boleh melintasinya karena tol tersebut belum diresmikan. Selama dua jam aku hanya menunggu dan menunggu bus ini memberhentikanku, menuju suatu tempat, yang aku yakin tidak kalah menarik dari sebelumnya.
Tebing menjulang tinggi, mencabik-cabik kaki langit senja. Bebatuan kapur menyusun rapat dinding-dinding kokoh tempat Dewa Wisnu turun ke bumi. Bayang-bayang paruh Garuda tunggangan Dewa Wisnu memayungi tanah berbukit, seakan memberikan ketentraman pada sekitarnya. Patung yang sangat megah. Terkonstruksi dari logam berwarna hijau lumut membuat patung setengah badan Dewa Wisnu tampak gagah. Ditambah dengan patung kepala dari Garuda, burung tunggangan Dewa Wisnu. Tak beberapa lama, seluruh orang dipersilakan menyaksikan tari di dalam panggung pementasan.
“Ayo cepat, nanti terlambat,” kata Adhit tergesa-gesa.
“Orang masih lima menit lagi juga Dhit,” kata Ilham membantah.
“Emangnya ke sana nggak jalan, langsung sampai?”
“Sudah-sudah, bagaimana mau sampai kalau kalian berantem terus? Ayo ah, cepat ke sana,” kataku menengahi. Jika mereka tetap berantem, bukannya sampai, malah kami tidak dapat menyaksikan tari tersebut.
Pementasan tari dimulai. Sang Dewi Sinta yang sangat cantik membuat Dasamuka menculik Dewi Sinta. Dasamuka mengadakan pesta karena berhasil menculik Dewi Sinta.
“Wow.. keren sekali ya,” kataku kepada Ilham dan Adhit.
“Iya, eh itu penarinya mengajak penonton menari, itu,” kata Adhit. “Ayo maju ke sana, sekalian ikut menari dengan penari cantik, hehe,” katanya usil. Dasar Adhit, ada-ada saja.
“Nggak mau, malu lah Dhit,” kata Ilham.
“Huu.. dasar. Bilang saja kamu takut,” kata Adhit. Ilham hanya cemberut.
Pertunjukan telah usai setelah sang Rama membebaskan Sinta dari Dasamuka. Dengan begitu usai juga keseruanku bersama teman-temanku. Di ufuk barat terlihat garis merah terbenamnya matahari, menyinari padang bebatuan menambah kelam bukit dengan dinding-dinding bebatuan kapur tersebut. Matahari semakin rendah, hingga akhirnya terbenam sepenuhnya ditelan kegelapan malam.
Tiga hari bersama semua teman dan sahabat, seperti halnya dua malam lalu. Bukan hanya tentang segerombol anak manusia, bukan tentang pencapaian tiada pertanda. Bukan tentang keindahan dan potret alam yang membahana, membentuk siluet bumi pertiwi yang menampakkan permata berharganya; namun mengukir kenangan bersama yang tersimpan selamanya, terangkum dalam satu cerita.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Item Reviewed: Menukik Paruh Sang Garuda Rating: 5 Reviewed By: Unknown